Kunci jawaban kelas 4 Semester II IPAS kurikulum merdeka - Ritual Cingcowong

 

      1. Bersifat dinamis, artinya hukum adat tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Ketika masyarakat berubah karena perkembangan zaman, hukum adat ikut berkembang agar mampu mengayomi warga masyarakat dalam hubungan dengan sesamanya.

      2. Bersifat kebersamaan atau komunal, artinya dalam hukum adat Bali tidak mengenal yang namanya hakim menang kalah, namun yang ada adalah hakim perdamaian, karena hukum adat Bali lebih mementingkan rasa persauadaraan dan kekeluargaan.

      3. Karakteristik lainnya dari awig-awig yakni tidak seperti hukum nasional atau hukum barat yang jarang mengakomodir dimensi sosiologis, sebaliknya hukum adat lebih mengakomodir dimensi sosiologis.

      Di Bali misalnya, awig-awig bahkan dianggap sakral dan memiliki pengaruh yang lebih kuat dibandingkan hukum yang berlaku. Contoh penerapan awig-awig di Bali terlihat dari sikap masyarakat terhadap seseorang yang melanggar aturan lokal, misalnya melakukan pencurian, penipuan, pemanfaatan sumber daya alam, hingga penyalahgunaan narkoba.

      Orang yang kedapatan melanggar, akan diberikan sanksi berupa mengaksama (minta maaf), dedosaan (denda uang), kerampang (disita harta bendanya), kasepekang (dikucilkan atau tidak diajak bersosialisasi dalam kurun waktu tertentu), kaselong (pengusiran dari desanya), atau upacara Prayascita (ritual pembersihan desa secara spiritual).

  1. Cingcowong di Jawa Barat

    Cingcowong merupakan upacara adat suku Sunda yang bertujuan meminta hujan dan berlangsung secara turun-temurun sebagai wujud pelestarian budaya. Hingga saat ini, ritual cingcowong masih sering dilakukan oleh masyarakat di Jawa Barat.

    Keberadaan Cingcowong memiliki hubungan erat dengan kebutuhan dan ketergantungan manusia terhadap alam, yaitu kebutuhan manusia terhadap air sebagai sumber penghidupan. Intinya tradisi ini ditujukan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa, supaya segera diturunkan

    hujan ketika terjadi kemarau berkepanjangan. Gambar perangkat melakukan cingcowong.

    Tradisi meminta hujan merupakan sebuah simbolisasi dari kedirian manusia yang adakalanya tidak berdaya menghadapi kekuasaan alam. Air sebagai sebuah kebutuhan dasar dan pokok manusia perlu senantiasa dipenuhi setiap hari, namun ketika persediaan air semakin menipis, mengakibatkan terganggunya pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat, seperti untuk makan, minum dan mencuci. Di sisi lain, kebutuhan pengairan lahan pertanian juga berkurang sehingga mengakibatkan kekeringan pada tanaman yang pada akhirnya menyebabkan kegagalan panen.

    Cingcowong berasal dari kata cing dan cowong. Kata cing dalam Kamus Bahasa Indonesia-Sunda memiliki arti yang sama dari kata cik, yang berarti “coba” dalam bahasa Indonesia. Kata cowong dalam bahasa Indonesia berarti “biasa berbicara keras”. Jadi dari segi bahasa, cingcowong memiliki arti mencoba berbicara keras. Pengertian lain dari Cingcowong menurut sumber lain berasal dari kata cing yang berarti “teguh” (Sunda) atau “terka” (Indonesia) dan cowong merupakan kependekan dari kata “wong” yang dalam bahasa Jawa berarti ‘orang’. Maka dengan demikian jika disatukan kata “cingcowong” tersebut memiliki arti “coba terka siapa orang ini”.

    Gambar upacara cingcowong

    Ritual Cingcowong dipimpin oleh seorang yang dinamakan punduh. Punduh adalah orang yang dianggap memiliki kemampuan khusus di bidang spiritual atau kepercayaan setempat yang diperolehnya karena inisiatif sendiri, dan dianggap memiliki kecakapan khusus untuk berhubungan dengan makhluk dan kekuatan supernatural. Untuk kelancaran ritual, seorang punduh dibantu oleh orang yang bertugas untuk memegang boneka cingcowong, dan memainkan dua alat musik utama yaitu buyung dan bokor. Ada juga sinden yang bertugas melantukan lagu-lagu tertentu untuk mengiringi boneka cingcowong menari. Adapun perlengkapan pendukung ritual selain boneka cingcowong sebagai alat utama juga dilengkapi dengan taraje (tangga bambu), samak (tikar), sisir dan cermin, serta air dan bunga kemboja yang disimpan dalam wadah. Guna menambah kehikmatan ritual disediakan set parukuyan (pedupaan) dan kemenyannya, serta aneka sesajian yang terdiri dar telur asin, kopi, rokok/ cerutu, congcot (tumpeng kecil), tektek (seperangkat bahan untuk menyirih) makanan ringan, kue-kue basah, dan buah-buahan manis.

    Dalam proses perkembangan saat ini, tradisi cingcowong telah mengalami modifikasi bentuk dari ritual sebagai mekanisme memanggil hujan, menjadi tarian sebagai seni hiburan rakyat. Kondisi ini terjadi manakala sebagian masyarakat mulai menyadari bahwa diperlukan adanya pelestarian kebudayaan melalui media seni tari dalam rangka menyelamatkan tradisi cingcowong yang hampir punah. Maka dibuatlah seni tari cingcowong, sebagai bentuk pemenuhan keinginan masyarakat yang sudah banyak mengalami proses perubahan sosial saat ini.

  2. Bebie

    Bebie merupakan contoh kearifan lokal yang berkembang di wilayah Muara Enim, Sumatra Selatan. Kearifan lokal ini berupa kegiatan menanam dan memanen padi secara bersama-sama dengan tujuan agar panen cepat selesai.

    Bebie atau Bebehas merupakan tradisi yang dahulu kerap dilakukan oleh masyarakat pedesaan di Kabupaten Muara Enim. Secara harfiah, Bebehas dapat dimaknai dengan menjadikan beras yang tadinya padi atau kegiatan mengumpulkan beras. Tradisi Bebehas dahulu dilakukan manakala suatu keluarga akan mengadakan hajat, seperti ingin menikahkan putra putrinya atau yang biasa disebut dengan ngantenkan.

    Gambar tradisi bebie.


    Tradisi Bebehas hanya dilakukan oleh para ibu dan remaja putri. Kegiatan tersebut dilakukan dengan cara bergotong-royong. Secara umum, tradisi Bebehas dibagi menjadi beberapa tahap. Tahap awal dilakukan dengan mulai memisahkan padi pada tangkainya atau yang masyarakat Muara Enim menyebutnya dengan mengirik. Setelah padi dipisahkan dari tangkainya, biji padi tersbeut kemudian dijemur, tahap ini dinamakan dengan mengisal.

    Padi yang sudah dijemur kemudian masuk ke tahap selanjutnya, yaitu ditumbuk dengan menggunakan lesung. Proses ini dilakukan untuk memisahkan bulir padi dengan kulitnya. Setelah bulir padi terkelupas, barulah dilakukan tahap menampikan biji padi ke dalam alat yang terbuat dari balok kayu yang oleh masyarakat Muara Enim disebut dengan isaram.

    Gambar pengolahan padi pada tradisi bebie.

    Tahapan terakhir dari tradisi Bebehas adalah membawa hasil panen padi ke tempat tuan rumah yang akan mengadakan hajat. Sebagai ungkapan terima kasih, si empunya hajat akan memberikan oleh-oleh berupa bakul yang berisi berbagai bahan makanan, seperti gula, kopi, dan minyak goreng. Berbagai tahapan dalam tradisi Bebehas tersebut dilakukan secara bergotong-royong, dan dilaksanakan tentu dengan suasana suka cita dan ikhlas.

Posting Komentar untuk "Kunci jawaban kelas 4 Semester II IPAS kurikulum merdeka - Ritual Cingcowong"