Lompat Batu Nias
operatorsekolahnusantara.blogspot.com |
Lompat batu (bahasa Nias: fahombo atau hombo batu) adalah olahraga tradisional Suku Nias. Olahraga yang sebelumnya merupakan ritual pendewasaan Suku Nias ini banyak dilakukan di Pulau Nias dan menjadi pertunjukan khas dari daerah tersebut. Mereka harus melompati susunan bangunan batu setinggi 2 meter dengan ketebalan 40 cm atau lebih.
Dalam budaya Nusantara zaman dahulu, belum ada keterlibatan latihan fisik layaknya olahraga modern. Suku asli Nusantara umumnya menghubungkan aktivitas fisik dengan praktik kesukuan, umumnya ritual, seni, kebugaran fisik dan bela diri. Tarian perang dan pertempuran ritual pada suku Nusantara menjadi contoh awal dari "ritualisasi" latihan fisik di Indonesia modern. Beberapa ritual suku asli Indonesia sangat mirip dengan olahraga, seperti tradisi fahombo Nias untuk ritual pendewasaan yang mirip dengan lompat gawang dan lompat jauh di atletik.
Pada masa lampau, pemuda Nias akan mencoba untuk melompati batu setinggi lebih dari 2 meter, dan jika mereka berhasil mereka akan menjadi lelaki dewasa dan dapat bergabung sebagai prajurit untuk berperang dan menikah. Sejak usia 10 tahun, anak lelaki di Pulau Nias akan bersiap untuk melakukan giliran "fahombo" mereka. Sebagai ritual, fahombo dianggap sangat serius dalam adat Nias. Anak lelaki akan melompati batu tersebut untuk mendapat status kedewasaan mereka, dengan mengenakan busana pejuang Nias, menunjukkan bahwa mereka telah siap bertempur dan memikul tanggung jawab laki-laki dewasa.
Gambar lompat batu di Nias.
Pasola Nusa Tenggara Timur
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang berlawanan. Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan. Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan. Pasola merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba). Permainan pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat.
Keempat kampung tersebut antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura. Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya.
Gambar tradisi pasola.
Pasola diawali dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale adalah salah satu upacara rasa syukur atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut yang melimpah di pinggir pantai. Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai. Para Rato (pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang. Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya. Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil. Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka. Setelah penangkapan nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat.
Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat dilaksanakan. Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga dari kedua kelompok yang bertanding, masyarakat umum, dan wisatawan asing maupun lokal. Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm. Walaupun berujung tumpul, permainan ini dapat memakan korban jiwa. Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu, korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan suatu pelanggaran atau kesalahan.
Gambar tradisi nyale yang mengawali pasola.
Tatung di Singkawang
Perayaan Cap Go Meh dirayakan hampir di seluruh dunia. Namun, Cap Go Meh di Singkawang memiliki perayaan yang sedikit berbeda dengan perayaan yang dilakukan di wilayah lain. Selain memiliki ciri khas budaya tradisi, aneka pertunjukan yang disajikan pada perayaan Cap Go Meh di Singkawang menyerap dan berasimilasi dengan budaya lokal. Seperti pertunjukan tatung misalnya yang menjadi salah satu bentuk asimilasi budaya di Singkawang. Tatung dalam bahasa Hakka berarti orang yang dirasuki roh, dewa, leluhur, atau kekuatan supranatural. Pawai tatung di Singkawang ini merupakan yang terbesar di dunia.
Gambar pawai komunitas Dayak-Tionghoa dalam upacara tatung.
Upacara pemanggilan tatung dipimpin oleh seorang pendeta. Pemanggilan tatung ini dilakukan dengan mendatangkan roh orang yang sudah meninggal untuk merasuki tatung. Diiringi genderang, peserta pawai mengenakan kostum gemerlap pakaian kebesaran Suku Dayak dan negeri Tiongkok di masa silam. Atraksi tatung dipenuhi dengan hal mistik dan menegangkan. Misalnya, ada tatung yang berdiri tegak diatas tandu menginjakan kaki di sebilah mata pedang atau pisau. Ada pula yang menancapkan kawat-kawat baja runcing ke pipi kanan hingga menembus pipi kiri.
Keberadaan tatung dalam jumlah besar merupakan fenomena budaya khas Kota Singkawang saat perayaan Cap Go Meh Singkawang. Sebagai pesta kebudayaan, pawai tatung memiliki sisi ritual religi yang cukup kental dan mencerminkan pembauran kepercayaan taoisme kuno dengan animisme lokal yang hanya terdapat di Kota Singkawang.
Gambar masyarakat adat Dayak yang mengikuti upacara tatung.
Wilayah Singkawang awalnya merupakan bagian dari wilayah Sambas yang melingkupi Kota Singkawang, Kabupaten Sambas, dan Kabupaten Bengkayang. Sambas bermakna sam (tiga) dan bas (etnis), yang berarti penduduknya terdiri dari etnis Melayu Sambas, yang
beragama Islam, peleburan dari berbagai suku atau etnis yaitu Melayu, campuran Tionghoa-Dayak Islam, Bugis, Jawa yang beragama Islam mengidentifikasi diri sebagai etnis Melayu. Kedua etnis Tionghoa, yang beragama Samkaw (Tao, Buddha, dan konfusius), Katolik, Protestan merupakan turunan Tionghoa perantauan, turunan campuran Tionghoa Dayak yang mengidentifikasi diri dalam etnis Tionghoa Indonesia. Ketiga, etnis Dayak, beragama Katolik, Protestan, Islam dan sebagian kecil animisme, mengidentifikasi diri dengan suku Dayak (penduduk asli Kalimantan).
Aktivitas Siswa
Kerjakan tugas berikut!
Sebelum kamu mengenal warisan kebiasaan budaya di Indonesia, sebaiknya kenailah dahulu kebiasaan masyarakat di lingkungan terdekatmu! Coba tanya kepada teman dan gurumu mengenai kebiasaan yang dilakukan di keluarganya secara turun-temurun! Kemudian tuliskan pada tabel berikut dan presentasikan hasilnya di depan kelas!
Jawab: Kebijaksanaan guru.
Gambar peserta tatung dengan busana etnis Tionghoa.
Nama | Teman/ Guru | Kebiasaan Lingkungan Keluarga yang Dilakukan secara Turun-temurun | Tujuan Kebiasaan |
Uji Kemampuan
Jawablah pertanyaan-pertanyaan berikut dengan benar!
Di manakah kita dapat menemukan kearifan lokal?
Jawab: Kearifan lokal sangat banyak dijumpai di Indonesia, khususnya di daerah-daerah yang masih kental adat-istiadatnya. Biasanya, daerah-daerah tersebut masih melestarikan kuat nilai-nilai para leluhur.
Tuliskan contoh-contoh kearifan lokal di Indonesia!
Jawab: Contoh-contoh kearifan lokal di Indonesia yang bisa kamu temukan, di antaranya sebagai berikut.
Hutan Larangan adat di Riau.
Awig-Awig di Lombok Barat dan Bali.
Cingcowong di Jawa Barat.
Bebie di Muara Enim, Sumatra Selatan.
Hukum Sasi di Maluku.
Jelaskan tujuan kearifan lokal hutan larangan adat di Riau!
Jawab: Tujuan kearifan lokal hutan larangan adat di Riau adalah agar masyarakat sekitar bersama-sama melestarikan hutan di daerah tersebut dengan melarang menebang hutan secara liar atau sembarangan.
Apa yang dimaksud kearifan lokal?
Jawab: Kearifan lokal merupakan suatu hal atau tindakan yang memiliki nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tatanan hidup masyarakat dan dianggap baik oleh masyarakat setempat.
Sebutkan fungsi-fungsi kearifan lokal!
Jawab: Fungsi-fungsi kearifan lokal yaitu berikut.
Sebagai pengembangan sumber daya manusia.
Pemberdayaan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Sebagai petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan.
Sebagai integrasi komunitas atau kerabat serta upacara daur pertanian.
Sebagai makna etika dan moral, misalnya dalam upacara ngaben dan penyucian roh leluhur.
Sebagai makna politik, misalnya dalam upacara adat Nangluk Merana di Bali.
Posting Komentar untuk "Kunci jawaban kelas 4 Semester II IPAS kurikulum merdeka - Lompat Batu Nias"